Sepanjang hidup saya hanya ada dua film
yang paling saya suka, Forrest Gump dan G 30 S/PKI ala Arifin C Noer.
Forrest Gump saya suka karena kedalaman makna filosofinya dalam
persoalan bakti kepada negara. ‘Orang yang tulus berbakti pada negara
tanpa imbal balik apapun hanya bisa dilakukan oleh orang dungu’
sementara dalam film G 30 S/PKI yang paling saya suka sinematika-nya, inilah
film terbaik sejarah yang saya pernah tonton bila dilihat dari sisi
filmis-nya. Mulai dari pemeran-pemerannya yang sangat natural, mirip,
penempatan dan setting dalam memulai narasi. Nah
persoalan narasi ini setelah dewasa saya baru memahami bahwa memang
film ini adalah film yang tidak jujur, tapi pengarah film ini sangat
baik dalam mengelola jalan cerita termasuk unsur pemaknaan yang ada
dalam film tersebut. Ada beberapa hal yang saya catat dalam film ini
yang kemudian menggiring bahwa G 30 S/PKI adalah sebuah peristiwa
kekejaman yang ’seakan-akan terjadi hanya disebabkan dari “Pihak Sana”
bukan sebagai rangkaian cerita dialektis saling mempengaruhi antara
“Pihak Sana” dan “Pihak Sini”. Narasi itu tergambar sebagai berikut :
Sukarno adalah pribadi yang hidup,
jiwanya bergelora tapi dalam film itu ia digambarkan sedang sakit keras,
semangat hidupnya nyaris tak ada. Di dalam cerita ini pemeran Bung
Karno, Umar Khayam kerjanya hanya di tempat tidur atau berjalan seperti
orang bingung. Bahkan adegan pertama dimulai dengan penggambaran
sakitnya Bung Karno.
Pesan dari tampilnya Bung Karno yang
sakit ini adalah “Raja Sedang Sakit” dalam negara yang demokrasinya
gagal, sakitnya raja akan selalu melahirkan suasana kalut, takut, dan
mencekam karena akan terjadi bayangan perang suksesi. Disini yang siap
dalam perang suksesi adalah PKI yang selalu digambarkan rapat terus
menerus. Padahal di masa terjadinya Penculikan Untung sebelum dan
sesudah Bung Karno dalam kondisi bugar, ia bagai banteng ketaton jadi
penggambaran Bung Karno di dalam ranjang yang kusam adalah sebuah pesan
sesuai dengan jalan cerita yang diinginkan oleh pembuat film dan
penyokong fim itu.
kemudian digambarkan dua sisi
masyarakat, satu kelompok kelas menengah yang isinya seorang laki-laki
pensiunan bicara terus menerus dengan isteri dan anaknya yang sedang
latihan drumband dengan mengetuk-ngetukkan meja. Dan penggambaran kedua
adalah orang Miskin, gelandangan yang baru tiba di Jakarta. Pesan dari
film ini adalah masyarakat terdidik resah dengan kondisi negara yang
kacau balau sementara rakyat gelandangan ada dimana-mana. Kontras
semakin bisu setelah penggambaran Istana Sukarno dengan tampilan
gelandangan, secara tersembunyi film itu ingin mengesankan bahwa Sukarno
yang hidup bagai raja, sementara rakyatnya tidur di pinggir jalan dan
kelaparan. Padahal realitasnya di jaman itu Sukarno begitu dielu-elukan
rakyatnya, walaupun rakyatnya miskin tapi jiwa rakyat masih mendukung
Bung Karno sebagai pemimpin mereka, bahkan di saat itu Bung Karno
berdiri di pihak rakyat jelata berhadap-hadapan vis a vis dengan
kelompok elite yang secara status quo menolak revolusi Bung Karno yang
mengganggu kenyamanan mereka.
Digambarkan dalam rangkaian sebelum
kejadian penculikan rapat-rapat PKI terjadi, dan asap mengepul
dimana-mana. Pesan dari adegan ini adalah seluruh gerakan dari semua
proses dialektis politik seakan-akan terjadi karena PKI, PKI dianggap
sebagai pusat penyadaran dari aktivitas Pra Penculikan para Jenderal.
Padahal sebelum terjadinya gerakan Untung, kegiatan intelijen tidak
hanya dilakukan PKI, bahkan PKI sendiri masih bagian kecil dari gerakan
itu. Gerakan intel ada yang dari kelompok Bandrio melalui BPI, gerakan
Angkatan Darat lewat segala macam move politiknya, gerakan
Partai-Partai Politik baik yang sudah disortir macam PSI lewat
Gemsos-nya dan pelarian di luar negeri yang membangun jaringan politik
internasional, Masyumi yang habis gara-gara PRRI kemudian digantikan
posisinya oleh NU, HMI yang bertahan dari ancaman DN Aidit untuk
dibubarkan, Gerakan Ganjang Malaysia yang lagi seru-serunya,
Sosialisasi Angkatan Ke V yang ditolak Yani, Gerakan diam-diam Nasution
yang juga menggunakan agen intel bernama Oejeng Suwargana (banyak
diceritakan baik oleh Rosihan Anwar ataupun AM Hanafi), Ditemukannya
rekaman rencana Dewan Djenderal oleh beberapa orang Partai yang memuat
nama S Parman, dipersiapkan sebagai Jaksa Agung dan banyak lagi
selentingan-selentingan yang memang wajar di masa semuanya bersiap
dalam pertarungan politik di masa revolusi Sukarno. Tapi yang jelas PKI
bukanlah satu-satunya pusat dari pertarungan itu.
Digambarkan DN Aidit sebagai seorang
perokok, padahal yang perokok bukanlah DN Aidit tapi pemeran DN Aidit
dalam film itu : Syu’bah Asa. Hanya saja sebagai penguatan karakter
orang yang sedang membangun rencana maka asap rokok diperlukan untuk
menjadi sebuah arahan bagaimana orang sedang berpikir keras untuk
membangun rencana jahatnya sesuai dengan keinginan pembuat film. Dalam
peran antagonis di film ini, rokok menjadi salah satu blocking yang
menarik.
Dalam film itu setelah penculikan Untung
Suharto ada secara tiba-tiba. Di awal-awal sebelum penculikan
seakan-akan Suharto tidak ada dan tidak berperanan. Film ini ingin
memesankan : Suharto tidak tahu menahu soal perencanaan dan tidak
bermain di prolog Gestapu dan film ini berakhir dalam adegan penggalian
lobang buaya dan ditambahi suara rekaman AH Nasution. Film ini hanya
menekankan pada aksi penculikan, makanya setelah film G 30 S/PKI
sebenarnya ada film lanjutan judulnya ‘Supersemar’ tapi entah kenapa
film lanjutan itu tidak jadi dipertunjukkan, oleh sebab memang
penyimpangan Suharto yang paling utama terjadi setelah pasca penculikan
seperti penafsiran masalah Supersemar. Padahal dalam kejadian
sebenarnya Suharto juga berperanan dalam prolog kejadian Untung seperti :
Suharto memerintahkan dengan mengeluarkan radiogram no. T 220/9 pada
tanggal 15 September 1965 dan radiogram lanjutan T 230/9 Yon 530
Brawijaya dan Yon 454 ‘Banteng Raiders’ Diponegoro untuk datang ke
Jakarta dengan kelengkapan penuh. Sementara pada tanggal 29 September
1965 Suharto melakukan inspeksi ke Pasukan tersebut. Dua Batalyon yang
datang inilah yang kemudian terlibat dalam peristiwa penculikan Untung.
Selain Resimen Cakrabirawa yang juga digunakan oleh Letnan Kolonel
Untung untuk melakukan pekerjaan gilanya. Jadi hadirnya Suharto dalam
peristiwa G 30 S/PKI bukanlah tiba-tiba apalagi pada tahun 1978 pada
Pledoi Kolonel Latif dinyatakan Suharto dua kali dilapori oleh Latif
tentang rencana operasi Latif ini dan Suharto sudah mendapatkan kabar,
tapi ini sama sekali tidak pernah ada adegan dalam film itu.
Dari sisi filmis inilah film sejarah terbaik sepanjang masa karena mampu menyodorkan semua pesan dari pembuat film kepada massa. Hanya saja dikemudian waktu manusia Indonesia semakin cerdas tapi sebagai rujukan membuat film sejarah maka film inilah yang harus kita perhatikan sebagai referensi penting.
-Anton DH Nugrahanto-.
0 comments
Readers Comments
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan blog Gorontalo Life. Admin berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.